EDUCATION 4 MINING STUDENT

Saturday, June 6, 2009

TEKTONIK & SUMBERDAYA

Perkembangan Teori Tektonika

Pemikiran geologi dimulai oleh Leonardo da Vinci (1452-1519). Pada awalnya perkembangan geologi didominasi pemikiran klasik (fixist), yang menganggap pembentukan orogenesa dan geosinklin terjadi di tempat yang tetap. Mewakili pemikiran ini misalnya Erich Haarmann (1930), yang menyatakan bahwa orogenesa terjadi karena kulit bumi terangkat seperti tumor, dan melengser karena gaya berat. Selanjutnya pendapat ini diterapkan oleh van Bemmelen (1933) di Indonesia sebagai Teori Undasi.

Pemikiran lain, mobilistdikemukakan Antonio Snider-Pellgrini (1658) yang mencermati kesamaan bentuk pantai barat dan timur Atlantik, serta Alfred Lothar Wegener (1915) yang mengemukakan konsep “benua mengembara”. Perubahan mendasar geologi global terjadi setelah Perang Dunia II, ketika data geofisika lantai samudera menunjukkan bahwa jalur anomali magnet mempunyai rasio yang tetap di mana-mana. Pada 250 juta tahun yang lalu benua merupakan satu kesatuan benua induk, atau Pangea. Perputaran bumi mendorong benua untuk bergerak ke arah kutub, sehingga benua terpecah-pecah sebagai kepingan benua kecil-kecil seperti saat ini: 6 lempeng utama dengan 14 lempeng yang lebih kecil. Dengan demikian maka seluruh permukaan bumi berada di dalam satu kesatuan proses geologis yang universal: Tektonik Global.



Tektonik Indonesia: Dari Klasik Ke Global

Indonesia dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tatanan geologi yang unik dan rumit. Banyak ahli geologi yang berusaha menjelaskan fenomena tersebut, baik dengan menggunakan pendekatan teori tektonik klasik maupun tektonik global.

Mewakili contoh pemikiran tektonik klasik, Van Bemmelen (1933) menggunakan Teori Undasi dalam menjelaskan keberadaan jalur-jalur magmatik yang menyebar secara ritmik menerus dari Sumatera ke Kalimantan barat dan Kalimantan. Berikutnya, Westerveld (1952) merekontruksikan jalur orogen di Indonesia dengan menggunakan pendekatan konsep geosinklin. Hasilnya adalah terpetakan lima jalur orogen dan satu komplek orogen yang ada di Indonesia.

Menurut pemikiran tektonik global, konfigurasi saat ini merupakan representasi dari hasil kerja pertemuan konvergen tiga lempeng sejak jaman Neogen, yaitu: lempeng samudera Indo-Australia, lempeng samudera Pasifik, dan lempeng benua Asia Tenggara. Tatanan tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan daratan Sunda yang relatif stabil. Sementara keberadaan lempeng benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia bagian timur. Berdasarkan konsep ini pula di Indonesia terbentuk tujuh jalur orogen, yaitu jalur-jalur orogen: Sunda, Barisan, Talaud, Sulawesi, Banda, Melanisia dan Dayak.



Pengaruh Tektonik Regional pada Perkembangan Busur Sunda

Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Penunjaman mempunyai kemiringan sekitar 7o. Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung dengan ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Cekungan muka busur berada di antara punggungan muka busur dan garis pantai sistem penunjaman dengan lebar 150 - 200 km. Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 – 130 km. Sistem penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung selama Kenozoikum Tengah – Akhir. Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan di Bali dan Lombok.

Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas tenggara lempeng Burma. Penyimpulan ini menyisakan pertanyaan karena kenampakan anomali gaya berat menunjukkan bahwa pola Jawa bagian barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan Jawa bagian Timur.



Pengaruh Tektonik Regional pada Perkembangan Sesar Sumatera

Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 Juta tahun lalu yang mengakibatkan perubahan sistematis dari perubahan arah dan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Proses tumbukan ini mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik. Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vectorini secara geometri akan mengalami kenaikan ke arah barat laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi antara dua lempeng tersebut.

Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola. Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.

Kompleksitas tatanan geologi Sumatera, perubahan lingkungan tektonik dan perkembangannya dalam ruang dan waktu memungkinkan sebagai penyebab keanekaragaman arah pola vektor hubungannya dengan slip-ratedan segmentasi Sesar Sumatera. Hal tersebut antara lain karena (1) perbedaan lingkungan tektonik akan menjadikan batuan memberikan tanggapan yang beranekaragam pada reaktivasi struktur, serta (2) struktur geologi yang lebih tua yang telah terbentuk akan mempengaruhi kemampuan deformasi batuan yang lebih muda.



Pengaruh Tektonik Regional Pada Sebaran Mineral Ekonomis Indonesia

Penyebaran mineral ekonomis di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran batuan, penyebaran mineral ekonomis sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia yang rumit.

Pembentukan mineral logam sangat berhubungan dengan aktivitas magmatisme dan volkanisma, pada saat proses magmatisme akhir (late magmatism), pada suhu sekitar 200oC. Teridentifikasikan 15 busur magmatik, 7 diantaranya membawa jebakan emas dan tembaga, dan 8 lainnya belum diketahui Emas terbentuk dalam berbagai lingkungan yang umumya merupakah hasil mineralisasi utama berupa: porphyry copper-gold mineralization, skarn mineralization, high sulphidation epithermal mineralization, gold-silver-barite-base metal mineralization, low sulphidation epithermal mineralization dan sediment hosted mineralization.

Terdapat hubungan yang erat antara cekungan minyak bumi yang berkembang di berbagai tempat dengan elemen-elemen tektonik yang ada.Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-lapangan minyak paling poduktif. Secara lebih rinci, perkembangan sistem cekungan, perangkap minyak bumi yang terbentuk maupun pematangannya sangat dipengaruhi oleh tatanan struktur geologi lokal.

Batubara di Indonesia umumnya menyebar tidak merata, 60% terletak di Sumatera Selatan dan 30% di Kalimantan Timur dan Selatan. Sebagian besar batubara terbentuk di lingkungan litoral, paralik dan delta, sedang beberapa terbentuk di lingkungan cekungan antar pegunungan. Kualitas batubara umumnya berupa bituminous, termasuk dalam steaming coal. Antrasit berkualitas rendah karena pemanasan oleh intrusi ditemukan di Bukit Asam, Sumatera dan Kalimantan Timur sedang pematangan karena tekanan tektonik terbentuk di Ombilin, Sumatera Barat.

Di sepanjang jalur gunungapi Kwarter terdapat 217 lokasi lapangan panasbumi, terdiri dari 70 lokasi prospek entalpi tinggi (t > 200oC) dan selebihnya entalpi menengah dan rendah. Lapangan prospek tersebar di Sumatera (31), Jawa-Bali (22), Sulawesi (6), Nusatenggara (8) dan Maluku (3), dengan seluruh potensi mencapai 20.000 MWe, dengan total cadangan sekitar 9.100 Mwe. Pengembangan geotermal di Indonesia saat ini dikonsentrasikan di Sumatera, Jawa-Bali dan Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut telah memiliki infrastruktur yang memadai serta memiliki pertumbuhan kebutuhan listrik yang tinggi.



Gunungapi Pra Kwarter Sebagai Agen Mineralisasi Jawa

Jalur penyebaran gunungapi di Indonesia terdiri dari jalur gunungapi tua (Tersier) dan muda (Kwarter), yang sejajar dengan jalur penunjaman. Kegiatan vulkanisma Tersier terjadi dalam dua perioda, yaitu perioda Eosen Akhir – Miosen Awal yang sebagian besar berafinitas toleitik dan perioda Miosen Akhir – Pliosen yang sebagian besar berafinitas alkali kapur K tinggi.

Proses hidrotermal di Jawa yang terdapat mulai dari Pongkor Jawa Barat sampai Sukamade Jawa Timur. Sebagian besar cebakan merupakan tipe low sulphidation epithermal mineralization. Tipe lain berupa volcanogenic massive sulphide mineralization, misalnya terdapat di Cibunasih; sedang tipe veins assosiated with porphyry system misalnya terdapat di Ciemas, dan sediment hosted mineralization hanya terdapat di beberapa tempat, misalnya di Cikotok.

Kecenderungan Jawa bagian barat mempunyai potensi lebih besar dibanding Jawa bagian timur berhubungan dengan perbedaan tatanan tektonik yang ada. Volkanik Tersier Jawa bagian barat berhubungan dengan sistem penunjaman tepi benua aktif (active continent margin) sedang vulkanisme Tersier Jawa bagian timur berhubungan dengan sistem penunjaman busur kepulauan (island arc). ***

No comments:

Post a Comment