Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut. Di Kalimantan Proses pembentukan gambut terjadi baik pada daerah pantai maupun di daerah pedalaman dengan fisiografi yang memungkinkan terbentuknya gambut, oleh sebab itu kesuburan gambut sangat bervariasi, gambut pantai yang tipis umumnya cukup subur, sedang gambut pedalaman seperti di Bereng Bengkel Kalimantan Tengah kurang subur (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Harjowigeno, 1996; dan Noor, 2001)
Pada daerah Kalimantan Barat penyebaran gambut umumnya di daerah rawa pantai, seperti pada pantai Kab. Ketapang, Kab. Pontianak, Kodya Pontianak sampai ke utara Kab Sambas. Pemanfaatan gambut yang cukup intensif dilakukan penduduk di kab Pontianak, yaitu daerah Sungai Kakap, Rasau Jaya, Sungai Ambawang dan disekitar kota Pontianak. Pada daerah yang padat peduduknya seperti disekitar kota Pontianak, lahan gambut dimanfaatkan untuk pertanian hortikultura, sayur-sayuran dan lidah buaya. Pada daerah Kakap dan Rasau Jaya petani menggunakan tanah gambut untuk tanaman padi, palawija dan kebun kelapa. Kebun Kelapa sawit di usahakan di Sungai Ambawang Kab Pontianak
Dalam memanfaatkan gambut untuk tanaman hortikultura petani sekitar kota Pontianak memanfaatkan input usaha tani yang cukup tinggi. Untuk meningkatkan kesuburan tanah gambut mereka menggunakan abu bakar berasal dari abu kayu (abu sawmill), abu sampah kebun, kapur, pupuk kandang asal peternakan ayam dan pupuk kimia. Berkurangnya jumlah saw mill karena langkanya bahan baku kayu menyebabkan abu sawmill menjadi langka, untuk mengganti abu sawmill masyarakat memperbanyak pembakaran sampah organik dari lahan pertanian mereka. Peningkatan harga BBM menyebabkan meningkatnya harga pupuk kimia, hal ini menyebabkan semakin mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan petani dalam budidaya pertanian dilahan gambut.
Tanaman palawija akan berproduksi jika gambut diberi masukan abu bakar, pukan ayam dan pupuk kimia. Pembuatan abu dilakukan petani bersamaan dengan musim kemarau, yaitu dengan cara membakar gambut pada waktu membersihkan lahan dari gulma dan semak belukar. Mahalnya harga pupuk menyebabkan ketergantungan petani pada abu bakar dari gambut semakin tinggi. Pembakaran gambut dalam kegiatan pembukaan lahan dan pengadaan abu bakar menyebabkan polusi asap terjadi pada setiap musim kemarau. Keberadaan gangguan asap pada setiap musim kemarau akan menyebabkan kerugian pada masyarakat berupa gangguan kesehatan, aktifitas transportasi, pendidikan, perdagangan dan lain lain. Bahkan penyebaran asap sampai kenegeri tetangga. Pembakaran gambut dapat pula meningkatkan efek rumah kaca dan pemanasan global yang saat ini menjadi perhatian dunia.
Secara teoritis permasalahan pertanian lahan gambut sesungguhnya disebabkan oleh drainase yang jelek, kemasaman gambut tinggi, tingkat kesuburan dan kerapatan lindak gambut yang rendah. Kemasaman gambut yang tinggi dan ketersediaan hara serta kejenuhan basa (KB)yang rendah menyebabkan produksi pertanian di lahan gambut sangat rendah. Pemanfatan kapur pertanian, dolomit, untuk memperbaiki kemasaman tanah dan KB memerlukan input dolomit yang tinggi dan mahal. Abu bakar dapat memperbaiki kesuburan tanah namun pembakaran harus dilakukan secara terkendali.
Beberapa tehnologi pertanian baik yang bersumber dari kearifan lokal oleh petani maupun hasil-hasil penelitian oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian perlu dikaji kembali untuk mewujudkan pertanian lahan gambut yang berkelanjutan.Pertanian gambut diharapkan dapat memberikan hasil yang memberi penghidupan bagi petani namun tidak menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan kerugian bagi masyarakat luas.
No comments:
Post a Comment