Sumber energi di Indonesia ditandai dengan keterbatasan cadangan minyak bumi, cadangan gas alam yang mencukupi serta cadangan batubara yang melimpah. Sumber daya energi batubara diperkirakan sebesar 36.5 milyar ton, dengan sekitar 5.1 milyar ton dikategorikan sebagai cadangan terukur. Sumber daya ini sebagian besar berada di Kalimantan yaitu sebesar 61 %, di Sumatera sebesar 38 % dan sisanya tersebar di wilayah lain. Menurut jenisnya dapat dibagi menjadi lignite sebesar 58.6 %, sub-bituminous sebesar 26.6 %, bituminous sebesar 14.4 % dan sisanya sebesar 0.4 % adalah anthracite. Produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil.
Selama sepuluh tahun terakhir ini penggunaan batubara dalam negeri terus mengalami pertumbuhan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian dan industrialisasi. Sektor tenaga listrik merupakan sektor yang mengkonsumsi batubara paling besar. Saat ini sekitar 30 % dari total
pembangkitan menggunaan bahan bakar batubara. Diperkirakan konsumsi batubara untuk pembangkit listrik akan mencapai dua kali lipat pada awal abat 21.
Permasalahan utama dalam pemanfaatan batubara adalah wujud batubara yang berupa zat padat sehingga kurang luwes dalam transportasinya. Disamping itu batubara mengandung sulfur, nitrogen dan abu dalam jumlah besar sehingga gas buang hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti SO2 dan NO2 serta abu terbang. Pembakaran batubara juga menghasilkan CO2 yang berperan dalam proses pemanasan global. Permasalahan tersebut terus dicari pemecahannya melalui riset-riset yang telah dan sedang dikembangkan saat ini.
Aktivitas riset dalam PLTU batubara saat ini telah melahirkan konsep baru yang menjanjikan dapat menaikkan efisiensi, mengurangi emisi polutan dari gas buang serta menghasilkan limbah yang minimum. Konsep baru tersebut adalah teknologi pembakaran fluidized bed dan teknologi gasifikasi batubara.
Integrated Coal Gasification Combined Cycle
Teknologi IGCC merupakan merupakan salah satu teknologi batubara bersih yang sekarang dalam tahap pengembangan. Istilah IGCC ini merupakan istilah yang paling banyak digunakan untuk menyatakan daur kombinasi gasifikasi batubara terintegrasi. Meskipun demikian masih ada beberapa istilah yang digunakan yaitu ICGCC (Integrated Coal Gasification Combined Cycle) dan CGCC (Coal Gasification Combined Cycle) yang sama artinya.
Komponen utama dalam riset IGCC adalah pengembangan teknik gasifikasi batubara. Gasifikasi batubara pada prinsipnya adalah suatu proses perubahan batubara menjadi gas yang mudah terbakar. Proses ini melalui beberapa proses kimia dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara yang sudah diproses secara fisis diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses pemanasan sampai temperatur reaksi serta mengalami proses pirolisa (menjadi bara api). Kecuali bahan pengotor, batubara bersama-sama dengan oksigen dikonversikan menjadi hidrogen, karbon monoksida dan methana. Proses gasifikasi batubara berdasarkan sistem reaksinya dapat dibagi menjadi empat macam yaitu : fixed bed, fluidized bed, entrained flow dan molten iron bath.
Dalam fixed bed, serbuk batubara yang berukuran antara 3 - 30 mm diumpankan dari atas reaktor dan akan menumpuk karena gaya beratnya. Uap dan udara (O2) dihembuskan dari bawah berlawanan dengan masukan serbuk batubara akan bereaksi membentuk gas. Reaktor tipe ini dalam prakteknya mempunyai beberapa modifikasi diantaranya adalah proses Lurgi, British Gas dan KILnGas. Sedangkan proses yang menggunakan prinsip fluidized bed adalah High-Temperature Winkler, Kellog Rust Westinghouse, dan U-gas. Dalam fluidized bed gaya dorong dari uap dan O2 akan setimbang dengan gaya gravitasi sehingga serbuk batubara dalam keadaan mengambang pada saat terjadi proses gasifikasi. Serbuk batubara yang digunakan lebih halus dan berukuran antara 1 - 5 mm. Dalam entrained flow serbuk batubara yang berukuran 0.1 mm dicampur dengan uap dan O2 sebelum diumpankan ke dalam reaktor. Proses ini telah digunakan untuk memproduksi gas sintetis dengan nama proses Koppers-Totzek. Proses yang sejenis kemudian muncul seperti proses PRENFLO, Shell, Texaco , dan DOW. Proses molten iron bath merupakan pengembangan dalam proses industri baja. Serbuk batubara diumpankan ke dalam reaktor bersama-sama dengan kapur dan O2. Kecuali proses molten iron bath semua proses telah digunakan untuk keperluan pembangkit listrik.
Saat ini teknologi IGCC sedang dikembangkan di seluruh dunia, seperti : Jepang, Belanda, Amerika Serikat dan Spanyol. Di samping proses gasifikasi yang terus mengalami perbaikan, gas turbin jenis baru juga terus dikembangkan. Temperatur masukan gas turbin yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan ini dapat dicapai dengan penggunaan material baru dan perbaikan sistem pendinginnya.
Prinsip kerja dari IGCC ditunjukkan pada gambar di atas. IGCC merupakan perpaduan teknologi gasifikasi batubara dan proses pembangkitan uap. Gas hasil gasifikasi batubara mengalami proses pembersihan sulfur dan nitrogen. Sulfur yang masih dalam bentuk H2S dan nitrogen dalam bentuk NH3 lebih mudah dibersihkan sebelum dibakar dari pada sudah dalam bentuk oksida dalam gas buang. Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor gasifikasi. Gas yang sudah bersih ini dibakar di ruang bakar dan kemudian gas hasil pembakaran disalurkan ke dalam turbin gas untuk menggerakkan generator. Gas buang dari turbin gas dimanfaatkan dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery Steam Generator) untuk membangkitkan uap. Uap dari HRSG (setelah turbin gas) digabungkan dengan uap dari HRSG (setelah reaktor gasifikasi) digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang akan menggerakkan generator.
Kelebihan-kelebihan IGCC
Penggunaan teknologi PLTU batubara konvensional saat ini mempunyai kekurangan yaitu efisiensinya rendah yang berkisar antara 33 - 36 %. Efisiensi ini dapat ditingkatkan dengan membangun unit pembangkit yang lebih besar atau dengan menaikkan suhu dan tekanan dalam siklus panasnya. Cara ini mempunyai keterbatasan dan menambah tingkat kerumitan dalam pemilihan materialnya. Disamping itu tuntutan dalam memelihara lingkungan hidup (seperti telah disebutkan di atas) akan menambah biaya pembangkitan karena adanya penambahan peralatan seperti : de-SOX (desulfurisasi), de-NOX (denitrifikasi) dan penyaring debu (electrostatic precipitator). Pemasangan peralatan ini juga akan mengurangi efisiensi total pembangkit listrik.
Teknologi IGCC ini mempunyai kelebihan yaitu dalam hal bahan bakar : tidak ada pembatas untuk tipe, ukuran dan kandungan abu dari batubara yang digunakan. Dalam hal lingkungan : emisi SO2, NOX, CO2 serta debu dapat dikurangi tanpa penambahan peralatan tambahan seperti de-SOX dan de-NOX dan juga limbah cair serta luas tanah yang dibutuhkan juga berkurang. Disamping itu pembangkit listrik IGCC mempunyai produk sampingan yang merupakan komoditi yang mempunyai nilai jual seperti : sulfur, asam sulfat dan gypsum.
Efisiensi pembangkit listrik ICGG berkisar antara 38 - 45 % yang lebih tinggi 5 - 10 % dibandingkan PLTU batubara konvensional. Hal ini dimungkinkan dengan adanya proses gasifikasi sehingga energi yang terkandung dalam batubara dapat digunakan secara efektif dan digunakannya HRSG untuk membentuk suatu daur kombinasi antara turbin gas dan turbin uap.
Dalam sistem IGCC, sekitar 95 - 99 % dari kandungan sulfur dalam batubara dapat dihilangkan sebelum pembakaran. NOX dapat dikurangi sebesar 70 - 93 % dan CO2 dapat dikurangi sebesar 20 - 35 % (emisinya berkisar antara 0.75 - 0.85 kg CO2/kWh) dibandingkan dengan PLTU batubara konvensional. Dengan tingkat emisi yang rendah maka dapat untuk mencegah terjadi hujan asam karena emisi polutan SO2 dan NOX serta mencegah terjadinya pemanasan global karena emisi CO2.
Salah satu hal yang menarik dalam sistem IGCC adalah pembangunannya dapat dilakukan secara bertahap yaitu:
- tahap pertama : pembangunan turbin gas dan perlengkapan pembangkit listrik
- tahap kedua : pembangunan sistem daur kombinasi, dan
- tahap ketiga : pembangunan unit gasifikasi.
Pembangunan dua tahap yang pertama memerlukan biaya investasi yang relatif kecil dan sudah dapat menghasilkan tenaga listrik. Investasi yang besar hanya dibutuhkan pada saat pembangunan tahap ketiga dan dilaksanakan bila sudah dinilai ekonomis untuk mengganti bahan bakar dari gas alam dengan batubara. Disamping itu sistem IGCC didesain secara modular sehingga mudah untuk dikembangkan menjadi unit yang lebih besar kapasitasnya pada saat kebutuhan tenaga listrik sudah meningkat.
Kesimpulan
Pemakaian tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup pesat yaitu 14.5 % per tahun dan dalam 25 tahun mendatang diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 7.8 % per tahun. Pada tahun 1996 kebutuhan tenaga listrik diperkirakan sebesar 140.7 TWh dan pada tahun 2021 kebutuhan mencapai 617.9 TWh. Sedangkan pangsa penggunaan batubara untuk pembangkit listrik terus meningkat pesat dari 21 % pada tahun 1996 menjadi 78 % pada tahun 2021. Pemakaian batubara dalam jumlah besar ini harus menerapkan teknologi batubara bersih, salah satunya yaitu IGCC, supaya dampak lingkungannya minimum. IGCC saat ini sedang dalam taraf pengembangan dan diharapkan sudah beroperasi secara komersial dalam waktu dekat ini. Pembangkit listrik IGCC mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan PLTU konvensional dengan tambahan de-SOX dan de-NOX dalam hal dampak lingkungan. Bagi Indonesia pembangkit listrik IGCC merupakan teknologi alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menggantikan PLTU batubara konvensional yang sudah habis masa gunanya dan untuk pembangunan pembangkit listrik yang baru.
Artikel di atas ialah rangkuman sebuah makalah yang ditulis oleh Agus Sugiyono, seorang peneliti di BPP Teknologi.
Saya masih awam dengan masalah ini. Adakah limbah gas yang dihasilkan dari proses ini? apa saja nama limbah gasnya? Dan proses pengolahannya bagaimana juga?
ReplyDelete